Nakamoto Coefficient: Pengertian, Cara Hitung, dan Implikasinya di Blockchain

Nakamoto Coefficient


Nakamoto Coefficient adalah salah satu indikator kunci yang mulai banyak dibicarakan di dunia blockchain dan kripto

Di balik istilah ini, tersembunyi cara sederhana namun efektif untuk mengukur kekuatan dan kerentanan suatu sistem blockchain. 

Dengan kata lain, Nakamoto Coefficient bisa jadi kompas kamu untuk menilai apakah sebuah proyek kripto benar-benar adil dan aman, atau justru dikuasai oleh segelintir pihak saja.

Apa Itu Nakamoto Coefficient?

Nakamoto Coefficient

Nakamoto Coefficient adalah ukuran yang menunjukkan seberapa banyak entitas (misalnya validator, miner, atau node) yang dibutuhkan untuk mengganggu atau menguasai konsensus dalam sebuah jaringan blockchain. 

Semakin tinggi angkanya, semakin terdesentralisasi dan aman jaringan tersebut. Nama ini diambil dari Satoshi Nakamoto, sang pencipta Bitcoin, sebagai bentuk penghormatan atas prinsip desentralisasi yang ia rancang.

Misalnya, kalau dalam satu jaringan hanya butuh 3 miner untuk mengontrol 51 persen kekuatan hash, maka Nakamoto Coefficient-nya adalah 3. Artinya, cukup tiga pihak saja untuk memanipulasi jaringan tersebut, tidak terlalu aman, kan?

Baca juga:

Cara Perhitungan

Nakamoto Coefficient

Perhitungan Nakamoto Coefficient bergantung pada mekanisme konsensus yang digunakan oleh jaringan blockchain, terutama dua sistem paling umum: Proof of Stake (PoS) dan Proof of Work (PoW).

Proof of Stake (PoS)

Dalam sistem PoS—seperti yang digunakan oleh jaringan Sui—Nakamoto Coefficient dihitung berdasarkan jumlah validator yang mengontrol lebih dari sepertiga (33,33 persen) total stake di jaringan.

Kenapa sepertiga? Karena dalam konsensus PoS, biasanya dibutuhkan dua pertiga mayoritas validator untuk menyetujui blok baru. 

Artinya, jika sekelompok validator menguasai lebih dari sepertiga, mereka sudah bisa mengganggu proses konsensus, misalnya:

  • Menolak transaksi

  • Menghentikan produksi blok

  • Menunda finalisasi blok

Jadi, jika ada 100 validator dan 7 di antaranya mengontrol 34 persen total stake, maka Nakamoto Coefficient-nya adalah 7.

Proof of Work (PoW)

Untuk jaringan PoW seperti Bitcoin, Nakamoto Coefficient dihitung berdasarkan jumlah penambang atau mining pool yang mengontrol lebih dari 50 persen kekuatan hash rate (penambangan).

Angka 50 persen ini krusial karena kalau satu grup penambang berhasil mencapai mayoritas hash rate, mereka bisa melakukan serangan 51 persen, seperti:

  • Membalikkan transaksi

  • Melakukan double spending

  • Menciptakan blok palsu (sesuai data dari CrossTower)

Contoh, jika 3 mining pool besar menguasai total 52 persen dari hash rate Bitcoin, maka Nakamoto Coefficient-nya adalah 3.

Implikasi Nakamoto Coefficient pada Blockchain

Nakamoto Coefficient

Nakamoto Coefficient punya pengaruh besar terhadap cara kita melihat keamanan dan keadilan sebuah jaringan blockchain. 

Kalau angkanya kecil, maka jaringan itu sangat rentan terhadap serangan, misalnya 51 persen attack. Ini seperti kalau ada geng kecil yang bisa menguasai seluruh sistem suara dalam rapat besar, jelas nggak adil, kan?

Sebaliknya, semakin besar koefisiennya, makin sulit bagi satu pihak untuk mendominasi sistem. Artinya, blockchain itu lebih aman, lebih sulit dimanipulasi, dan lebih dekat dengan idealisme desentralisasi yang jadi dasar dunia kripto.

Limitasi Nakamoto Coefficient

Nakamoto Coefficient

Meskipun Nakamoto Coefficient adalah alat yang berguna untuk mengukur desentralisasi jaringan blockchain, ada beberapa batasan penting yang perlu kamu pahami. 

Koefisien ini tidak selalu mencerminkan kondisi sebenarnya dari sebuah ekosistem, terutama jika hanya dilihat secara tunggal tanpa mempertimbangkan faktor lain.

1. Distribusi Token

Koefisien bisa saja menunjukkan angka tinggi, tapi kalau sebagian besar token hanya dipegang oleh segelintir pihak, maka jaringan tetap saja rentan terhadap sentralisasi. 

Misalnya, proyek dengan 20 validator mungkin terlihat terdesentralisasi, tapi kalau 3 pemilik besar mengontrol mayoritas token, suara mereka tetap mendominasi.

2. Jumlah Peserta Aktif

Sebuah jaringan mungkin punya ribuan node, tapi jika hanya sedikit validator yang aktif dalam pengambilan keputusan, maka kekuatan tetap terkonsentrasi. 

Seperti yang dicatat oleh Vanticatrading, ini menjadikan jaringan tampak besar, padahal kenyataannya masih rapuh secara struktur kendali.

3. Struktur Tata Kelola

Tata kelola yang buruk bisa menjadi jebakan laten dalam blockchain. Jika keputusan penting masih didominasi oleh satu entitas atau tim developer inti, maka desentralisasi yang terlihat dari Nakamoto Coefficient menjadi semu. Idealnya, sistem governance juga harus inklusif dan partisipatif.

4. Faktor Eksternal

Nakamoto Coefficient juga tidak bisa mendeteksi pengaruh eksternal, seperti tekanan dari pemerintah, perusahaan besar, atau kelompok terorganisir yang bisa memengaruhi validator. 

Hal ini berarti sebuah jaringan bisa saja tampak sehat secara angka, tapi lemah terhadap campur tangan luar.

Karena berbagai keterbatasan di atas, Nakamoto Coefficient sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya acuan. 

Kombinasikan dengan metrik lain seperti distribusi token, jumlah node aktif, dan transparansi tata kelola untuk mendapatkan gambaran desentralisasi yang lebih utuh dan akurat. Jadi, kamu bisa menilai sebuah proyek blockchain secara lebih objektif dan menyeluruh.

Nakamoto Coefficient adalah salah satu alat bantu penting buat kamu yang ingin memahami desentralisasi dalam blockchain. 

Dengan mengetahui berapa banyak pihak yang dibutuhkan untuk menguasai sistem, kamu bisa menilai seberapa aman dan sehat jaringan tersebut. 

Tapi ingat, angka ini bukan satu-satunya patokan. Gunakan dengan bijak dan tetap perhatikan aspek teknis serta komunitas dari setiap proyek blockchain yang kamu minati.

Baca juga:

Dapatkan pemahaman lain tentang crypto dan strategi trading hanya di Tentang Kripto.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama